TOPNEWS1.ONLINE, BARRU — Praktik dinasti politik terus menjadi fenomena yang meresahkan dalam perjalanan demokrasi lokal di Indonesia, termasuk di Kabupaten Barru.
Dinasti politik, yang sering kali diwarnai dengan pemaksaan kehendak dan penutupan ruang bagi pihak lain, telah merampas hak politik warga negara untuk berpartisipasi secara setara dalam membangun daerahnya melalui kontestasi Pilkada.
Fenomena ini, meskipun secara hukum tidak dilarang, menciptakan dampak negatif yang signifikan bagi keberlanjutan politik dan masa depan demokrasi di daerah.
Di Kabupaten Barru, pola dinasti politik dinilai semakin mempersempit ruang regenerasi kepemimpinan. Siklus kekuasaan yang berputar di lingkaran yang sama telah menjadi penghalang bagi tumbuhnya kepemimpinan yang inovatif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Dampaknya tidak hanya pada tataran politik, tetapi juga pada tata kelola pemerintahan yang berpotensi dipenuhi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Sejarah telah membuktikan bahwa kekuasaan yang terlalu terkonsentrasi pada satu pihak cenderung melahirkan otoritarianisme, seperti yang diingatkan oleh Lord Acton: “Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely.”
Praktik dinasti politik sering kali berdampak pada penempatan aparatur pemerintah yang tidak sesuai dengan kapasitas dan kompetensi.
ASN yang berada di eselon strategis kerap dipilih bukan berdasarkan kemampuan, melainkan loyalitas terhadap penguasa. Fenomena ini, yang dikenal sebagai the wrong man in the wrong place, tidak hanya menghambat efektivitas birokrasi, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Ironisnya, praktik semacam ini terus terjadi meskipun berbagai aturan telah diterbitkan untuk mengurangi dominasi dinasti politik.
Upaya pemerintah dalam memastikan demokrasi berjalan sehat sering kali kandas di tengah kuatnya cengkeraman kelompok status quo yang mempertahankan kekuasaannya dengan segala cara.
Demokrasi, yang seharusnya menjadi alat untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat, justru berubah menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan segelintir pihak.
Dinasti politik tidak hanya mencerminkan ketamakan, tetapi juga melahirkan budaya politik yang jauh dari nilai-nilai demokrasi. Ketamakan akan harta, tahta, dan jabatan membuat praktik ini semakin sulit diberantas.
Di tengah tantangan ini, masyarakat Kabupaten Barru diharapkan dapat menolak produk dinasti politik dalam Pilkada mendatang dan mendukung lahirnya pemimpin yang demokratis, responsif, dan akuntabel.
Hanya dengan demikian, demokrasi yang ideal dapat terwujud, dan harapan untuk masa depan Barru yang lebih baik dapat tercapai. (*/Ibe)